POSKOTATV- Di tengah pesatnya modernisasi, Padepokan Sima Maung yang terletak di Jl. Pertamina, Kedungjaya, Kec. Babelan, Kabupaten Bekasi, berdiri teguh sebagai benteng terakhir pelestarian seni bela diri dan tradisi budaya lokal. Tidak hanya menjadi tempat belajar pencak silat, padepokan yang kini memiliki cabang di berbagai kota ini juga menjadi simbol kebanggaan Betawi, dengan misi melestarikan warisan leluhur di tengah hiruk-pikuk zaman.
Padepokan ini didirikan oleh R. Moh. Hasan Bin Achnan, seorang pemuda asal Desa Cimanying, Kampung Menes, Banten. Di masa mudanya, Hasan merasa terpanggil untuk membela bangsanya yang sering dianiaya oleh para tuan tanah dan penjajah. Dengan tekad yang kuat, ia belajar bela diri di Gunung Jenaka, Ujung Kulon, di bawah bimbingan Eyang Kolot Ali. Dari sinilah lahir dasar-dasar seni bela diri yang kini diajarkan di Padepokan Sima Maung.
Sejak berdirinya pada tahun 1964, Padepokan Sima Maung telah mendapatkan sertifikasi dari Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) pada tahun 2000. Saat ini, Padepokan Sima Maung diteruskan oleh generasi berikutnya, di bawah kepemimpinan Tubagus Lukman Hasan, yang akrab disapa Babeh. Lahir di Bekasi pada 16 Juni 1973, Babeh menghadapi tantangan besar untuk menjaga dan mengembangkan warisan budaya leluhur. Dalam wawancara dengan wartawan POSKOTATV, Babeh menyampaikan misinya untuk mengedukasi generasi muda dan melestarikan warisan leluhur di tanah kelahirannya.
Di bawah kepemimpinannya, Padepokan Sima Maung tidak hanya menjadi tempat untuk belajar pencak silat, tetapi juga berkembang menjadi pusat pelestarian beragam aspek kebudayaan lainnya. Sima Maung yang memiliki arti “simau” berarti karismatik dan “maung” berarti harimau. kombinasi kata ini menggambarkan sosok yang berkarisma dan beribawa. Padepokan ini mengajarkan berbagai keterampilan kebudayaan, seperti pertunjukan pencak silat, sanggar tari, palang pintu, pembuatan ondel-ondel, musik tradisional, dan pembuatan golok.
Dengan membina sekitar 120 anak, tanpa adanya pungutan biaya alias gratis, Padepokan Sima Maung ini mencari dana dengan berjualan obat herbal hasil racikan sendiri, dan usaha dari berjualan hasil keterampilan anak didiknya. Pria berusia lima puluh satu tahun itu tidak mau menerima biaya dari murid-muridnya karena ia berpegang teguh pada pesan orang tuanya untuk tidak mencari uang dari silat.
“Pesan orang tua saya pegang sampai sekarang, masih istiqomah, jangan nyari duit di silat, tapi kalau Allah menentukan rezeki dari silat, monggo diterima, jangan ditolak, tidak baik juga, asal jangan diminta.” ujar Babeh.
Babeh memiliki pandangan yang tegas tentang pencak silat sebagai bagian dari budaya. Hal ini membuat Padepokan Sima Maung lebih memilih berpartisipasi dalam festival kesenian daripada mengikuti turnamen prestasi atau ‘matras pertandingan’.
“Saya tidak ingin melombakan anak-anak murid saya ke turnamen prestasi atau ‘matras pertandingan’. Saya ingin masyarakat melihat bahwa silat tidak hanya sekadar pertarungan, tetapi juga bagian dari identitas budaya,” tegas Babeh.
Menurutnya, jika sudah masuk ke jalur pertandingan di atas matras, gerakan-gerakan atau nilai-nilai ajaran Sima Maung akan hilang. “Itu memang sudah komitmen saya. Tradisi diubah jadi prestasi, maka marwah tradisinya akan hilang. Nanti jurus-jurus Sima Maung akan hilang, karena mereka lebih mengejar prestasi.
Contohnya, jurus Tinggal Bambu Tari, itu nanti akan hilang, dan itu yang saya takutkan,” jelas Babeh. “Kami ingin masyarakat, terutama generasi muda, tidak hanya mengenal pencak silat sebagai seni bela diri, tetapi juga sebagai bagian dari identitas budaya kita,” tambahnya.
Program terbaru yang dijalankan di Padepokan Sima Maung adalah pelatihan musik tradisional bagi penyandang disabilitas.
Tantangan dalam mengajarkan keterampilan ini kepada orang-orang dengan kebutuhan khusus sangat besar, namun semangat dan komitmen Babeh serta para pelatihnya tidak pernah surut. “Di sini ada yang tuna rungu, tuna netra, bahkan tuna wicara. Tantangannya luar biasa, terutama dalam komunikasi. Tapi dengan kesabaran, kami mampu mengajarkan mereka,” tambah Babeh.
Dengan berbagai program yang dijalankan, Padepokan Sima Maung tidak hanya menjadi pusat pelatihan bela diri, tetapi juga menjadi benteng terakhir yang menjaga dan mengembangkan budaya Betawi di tengah arus modernisasi yang semakin deras. (EF)