POSKOTA.TV, 7 Oktober 2024 – Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) mengadakan diskusi untuk mengenang tragedi Kanjuruhan dan membahas berlanjutnya kasus kekerasan di Indonesia. Acara ini berlangsung di Berdikari Kopi, Jl. Mekarsari Tengah, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, pada Minggu (6/10/24).
Diskusi tersebut mengusung tema “Tragedi Kanjuruhan dan Berlanjutnya Spiral Kekerasan” sebagai pengingat dua tahun terjadinya tragedi Kanjuruhan yang merenggut 135 nyawa pada 1 Oktober 2022. Acara diawali dengan pemutaran film dokumenter berjudul Nisan Tanpa Keadilan, yang berdurasi sekitar satu jam, menampilkan kisah-kisah ketidakadilan yang terjadi pascatragedi.
Sesi berikutnya, Rusin (49), ayah dari Muhammad Fikri, menceritakan pengalaman pahit anaknya yang menjadi korban salah tangkap oleh polisi dalam kasus pembegalan di Tambelang pada 3 Februari 2022. Meski Fikri telah dibebaskan, Rusin masih memperjuangkan keadilan atas kerugian yang dialami anaknya dan mengungkap kekecewaannya terhadap aparat kepolisian.
“Saya di sini untuk berbagi cerita tentang kinerja aparat yang tidak tahu malu. Mereka, para bajingan itu, menangkap anak saya tanpa alasan!” ujar Rusin dengan penuh emosi. Ia juga menyebutkan bahwa kondisi anaknya memburuk selama lima bulan ditahan tanpa sinar matahari. “Hewan saja butuh sinar matahari, ini manusia loh!” tegasnya.
Anggota Kontras, Andi Staf Advokasi Hak Asasi Manusia di Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) kemudian menyoroti lemahnya penegakan hukum di Indonesia, khususnya terkait penanganan kasus Kanjuruhan. Ia mengungkapkan bahwa penembakan gas air mata tidak hanya terjadi di dalam stadion, tetapi juga di luar stadion.
“Apa yang kalian lihat di media sosial hanyalah sebagian. Banyak orang berjatuhan di luar stadion, namun fakta ini tidak sepenuhnya diungkap oleh aparat penegak hukum,” ujar Andi. Ia juga menyebutkan bahwa ada banyak bukti, seperti rekaman CCTV dan video, yang seharusnya cukup untuk mengungkap pelaku penembakan gas air mata.
Andi menambahkan bahwa penggunaan gas air mata seharusnya mengikuti prosedur yang ketat. “Polisi seharusnya memiliki tahapan yang jelas sebelum menggunakan gas air mata, dan dalam tragedi Kanjuruhan, hal ini tidak dijalankan dengan benar,” tambahnya.
Arif Maulana, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, menjelaskan pentingnya hak-hak korban dalam peristiwa kekerasan. Ia menegaskan bahwa korban berhak atas kebenaran, keadilan, pemulihan, serta hak untuk tidak menjadi korban lagi.
“Ada empat hak utama korban: pertama, hak atas kebenaran; mereka berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kedua, hak atas keadilan; jika tidak bersalah, korban harus dibebaskan dan tidak boleh dituduh sebagai pelaku. Ketiga, hak atas pemulihan. Keempat, yang paling penting, kita berhak untuk tidak menjadi korban berikutnya,” jelas Arif.
Diskusi ini ditutup dengan sesi tanya jawab, di mana para peserta aktif bertanya dan berbagi pandangan tentang kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia dan solusinya. Sesi ini memberikan kesempatan kepada publik untuk menggali lebih dalam tentang upaya menuntut keadilan dan mencegah terulangnya kekerasan di masa mendatang. (EF)