POSKOTA.TV – Di negeri yang “kaya hutan”, dengan label konservasi di balik papan nama besar Taman Nasional, Register Hutan, dan Suaka Margasatwa. Faktanya, semua ini hanya menjadi saksi bisu permainan tanah yang lebih tua dari republik ini.
Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) mengatakan, ia tak berhenti bertanya, apakah kawasan lindung itu benar-benar hendak dilindungi, atau justru dipertahankan demi kepentingan mereka yang pernah berkuasa.
Kasus hutan Register 40 di Sumatera Utara, Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Riau, dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) di Riau–Jambi, merepresentasikan wajah konflik antara klaim negara, sejarah masyarakat adat, dan hukum formal.
Menurut Iskandar, idealnya, akar persoalan tiga hutan itu bisa dipahami oleh para pembantu Presiden, agar lebih membuat lugas seluruh pemikiran dan kebijakan terkait sawit dan turunannya.
Jika tidak, maka niat baik Presiden Prabowo terkait mengunggulkan komoditas sawit tidak akan maksimal terwujud.
IAW meminta, agar audit tidak boleh berhenti di angka, yakni kerugian negara, deforestasi dan hektaran alih fungsi sebab itu hanyalah gejala.
Pemerintah harus menghasilkan solusi terbaik agar prediksi penertiban kisaran tiga juta hektar sawit di atas hutan, menjadi mesin penghasil ribuan triliun dari pajak dan PNBP kepada negara.
“Jangan lagi salah takelola. Akar persoalan adalah distorsi sejarah dan hukum. IAW ingatkan, agar hutan tidak mudah berpindah tangan secara senyap. Satgas PKH terus lakukan penertiban,” pintanya.
IAW menilai, UUPA No. 5/1960 mengakui hak ulayat masyarakat adat, tetapi justru UUPA juga memberi celah besar bagi negara untuk mengambil alihnya atas nama “kepentingan nasional”.
“Ini pintu masuk utama ketidak-adilan,” tegas Iskandar Selasa 12 Agustus 2025 kepada wartawan di Bogor.
Tap MPR IX/2001 menurut IAW, juga mendorong penyelesaian konflik agraria, namun dalam banyak penetapan kawasan hutan, justru prinsip ini diabaikan pemerintah.
Lalu UU No. 5/1990 (pasal 31) mensyaratkan penetapan kawasan konservasi dengan memperhitungkan sosial-budaya lokal.
Sayangnya, TNBT yang ditetapkan sebagai hutan tahun 1995, malah nyaris tanpa konsultasi dengan masyarakat adat Talang Mamak.
TGHK 1982 menetapkan status hutan secara administratif, namun keputusan diambil jauh dari masyarakat yang hidup di wilayah tersebut.
Keputusan hanya berbasis dari atas meja birokrasi di Jakarta. Baru era Orde Baru terkait hutan Register 40 dimasukkan ke daftar hutan lindung melalui SK Menhut.
Sayang, keputusan itu dilakukan tanpa inventarisasi hak adat dan tanpa partisipasi pemilik asli, yakni masyarakat adat.
IAW menilai, ini bukan sekadar masalah “sawit di kawasan hutan”, tetapi krisis tata kelola yang berulang, yakni pengabaian hak-hak masyarakat, pembiaran pelanggaran korporasi, dan penegakan hukum yang timpang.
“Saran IAW, pemerintah menyikapi dengan bijaksana. Meredefenisi hutan, agar mendistrorsi kompleksitas persoalan. Tanpa redefenisi dan penegakan prinsip pengelolaan hutan yang konsisten, Satgas PKH berisiko hanya memadamkan api di permukaan,” katanya.
IAW sangat prihatin dengan fatamorgana hukum yang tak jelas, dimana rakyat kecil dijerat, sementara korporasi besar lolos.
Menurut Iskandar, jika Satgas tidak menghasilkan dampak sejuk yang seharusnya dirasa oleh masyarakat adat dan publik, maka kinerjanya justru semakin menjauhkan panggang dari api.
“Kinerja Satgas harus nyata, agar masyarakat merasa, bahwa peraturan PKH yang dibuat Presiden Prabowo membumi,” ujarnya.
Atas berbagai hal ini, IAW merekomendasikan enam hal yakni,
1. Audit forensik segera kawasan “abu-abu” dan izin alih fungsi ilegal.
2. Redefinisi hutan dan peran Satgas PKH sebagai fasilitator co-management, bukan alat represif.
3. Transparansi penuh data izin dan hasil audit sehingga masyarakat sipil dan media harus diajak mengawasi.
4. Pengakuan dan pemulihan hak masyarakat adat melalui RUU Masyarakat Adat dan revisi UU tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya KSDAE.
5. Pendekatan manajemen bersama di Register 40, TNBT dan TNTN: integrasikan konservasi dan kearifan lokal.
6. Teknologi pengawasan inklusif (satelit & partisipatif) untuk mendukung audit dan pelacakan.
Bagi IAW, hutan register 40, TNTN, dan TNBT lebih dari sekadar lempengan hijau, karena mereka adalah warisan budaya, ekonomi, ekologi, dan konflik yang belum selesai.
Pengakuan hak adat, penegakan hukum yang adil, dan pengelolaan inklusif adalah kunci, agar Satgas PKH tidak cuma menjadi penghapus jejak, tetapi arsitek perbaikan sistemik dalam tata kelola hutan berkeadilan.
“Presiden Prabowo Subianto punya peluang historis untuk mereset sejarah, guna memulihkan hak rakyat, menjaga ekologi, dan mengakhiri warisan administrative violence terhadap kawasan hutan kita,” tegas Iskandar. ***