POSKOTATV – Sindiran keras Profesor Yusril Ihza Mahendra, Menko Hukum dan Pakar Tata Negara, terhadap menurunnya kualitas parlemen akibat banjirnya artis di Senayan semoga menjadi agenda tambahan “17+8” untuk menendang mereka semua dari gedung wakil rakyat yang seharusnya terhormat.
Lembaga legislatif kita tak bisa dibubarkan – dan tak boleh dibubarkan. Namun juga jangan diisi orang orang yang cuma pamer tampang . Kaum pesolek dan tukang flexing.
Skandal Eko Patrio, Uya Kuya dan Nafa Urbach, yang berbuntut tragis, hari hari ini, hanyalah gunung es yang merusak lembaga legislatif, selama ini. Dan fenomena ini terjadi bukan hanya pada periode sekarang, melainkan sudah ada sejak era Orde Baru, dimana Rhoma Irama, Eddy Sud dan Ratno Timoer juga pernah berkantor di gedung dewan di Senayan.
Bedanya, kini makin marak, makin menjadi jadi dan dianggap lumrah. Dan kini terkuak modus besar partai: Mereka sengaja direkrut dan dimodali oleh partai partai tertentu untuk kemenangan elektoral bukan fungsi representasi. Membawa aspirasi.
Artinya partai partai di di gedung parlemen sedang membusukkan diri sendiri dengan mengabaikan tugas mulia mereka melahirkan kader yang vokal, lantang, dan berani mengkritik pemerintah demi kepentingan rakyat. Melainkan mengumpulkan kursi sebanyak banyaknya melalui “sales” pemilu dari wajah wajah yang telah dikenal di layar teve, radio dan bioskop.
Partai politik nampak makin malas membangun kader. Mereka lebih memilih artis molek sebagai “brand ambasador” dan mesin pendulang suara (“vote getters”) lantaran wajahnya sudah dikenal. Juga mengingat masih rendahnya pengetahuan mayoritas pemilih.
Dan ketika kursi didapat di parlemen, mereka cukup datang, duduk, diam lalu dapat duit. Sesekali angkat tangan dan tanda tangan saat voting. Kemudian “flexing”, pamer liburan di luar negeri dan berjoget joget di tengah rakyat yang sedang susah.
Mereka tidak diminta berpikir berat terkait kerja legislasi ; membentuk peraturan bersama pemerintah, menelisik anggaran yang diajukan eksekutif, mengawasi pelaksanaan anggaran dan peraturan daerah. Atau menyusun pertanyaan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), menyerap aspirasi masyarakat di dapilnya, serta memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Tidak diminta itu. Bahkan hadir sidang silakan, tak hadir pun tak apa.
Banyak anggota dewan yang berbulan bulan tak nongol, dibayar gaji tunjangan fasilitas yang berlimpah – ratusan juta – hingga miliaran rupiah per tahunnya – agar bekerja 24 jam untuk rakyat. Tapi, nyatanya masih bisa jadi pengisi acara di teve, tampi di konser, ngobyek – dan tidak dipermasalahkan. Yang penting pada moment sidang pleno yang banyak kamera media, hadir, tampil meyakinkan – untuk ekspose citra partai dan gedung parlemen .
Tidak semuanya pesohor di Senayan bermasalah, tentu saja. Tidak semua “kosong”. Ada yang kritis juga. Ada juga yang serius menjalankan tugas. Namun, mayoritas direkrut bukan karena kompetensi, melainkan karena kalkulasi suara.
Demokrasi kita dijadikan permainan popularitas, rakyat dikecoh dengan pencitraan.
Sungguh mengerikan mendengarkan pengakuan Cinta Laura dan Aurele Moeremans, sebagai dua artis cerdas menguasai banyak bahasa – tapi menolak direkrut partai untuk masuk ke gedung dewan. Aurel, model dan penyanyi, aktris film, yang menguasai lima bahasa asing – terus terang tidak tertarik pada politik, tapi dibujuk untuk bergabung dan dijanjikan “income” ratusan juta per bulan, hanya untuk mengikuti arahan.
Latar belakang pendidikan dan minat kerja politik tidak diutamakan, yang penting mengikuti arahan atau sebutan siap jadi boneka. Jadi pelakon. “Kan sudah biasa berakting mengikuti teks, jadi lebih mudah, ” begitu bujukan perekrut artis kepada Aurelie. Pengakuan yang sama disampaikan Cinta Laura Keihl, tokoh muda peraih dua gelar dari universitas kondang Amerika.
Maka, semakin banyak saja artis dari PH (rumah produksi) PT Multi Vision Plus – Starvision dan Sinemart – pindah ke Senayan. Desy Ratnasari, Nurul Arifin, Dede Yusuf Effendi, Okky Asokawati, Verrell Bramasta, Primus Yustisio, Rachel Maryam, Kris Dayanti, Dina Lorenza , Nafa Urbach, dkk, ngantor di sana.
Juga Eko Patrio, Uya Kuya, Ahmad Dhani, Wulan Jameela, Melly Goeslaw yang kehadirannya seperti lampu penghias taman. Sebelumnya ada Angelina Sondakh, Anang Hermansyah, Rieke Diah Pitaloka, dll. Mereka artis, mereka ke Senayan – tapi tidak membahas masalah dunia mereka.
Kasus royalti musik, misalnya, sudah lama bermasalah bagi seniman pencipta. Tapi apa hasil konkrit dari keberadaan Anang Hermansyah, Kris Dayanti yang pernah di sana? Belakangan disusul Ahmad Dhani, Melly Goeslow, Mulan Jemeela dan Nafa Urbach – yang karatan di industri musik. Kasus royalti masih ngendon juga. Stuck!
Para artis sinetron mengeluh karena suting tak kenal jam kerja, tereksploitasi di lokasi, sedangkan pembayaran honor tertunda hingga berbulan bulan bahkan melewati tahun. Aris bintang tamu di teve pun kerap tak dibayar. Apa yang disumbangkan oleh keberadaan Deddy Yusuf Effendi, Desi Ratnasari, Nurul Arifin, Primus Yustisio dan Oneng di sana dalam kasus ini?
Para artis yang kini membanjiri gedung parlemen tak beda dengan anak anak pejabat yang mengikuti bapak ibunya di partai. Bukan karena komperenti, namun karena difasilitasi ikut jejak orangtua, makan uang pajak rakyat, ratusan juta per bulan, dengan hanya datang, duduk, diam, lalu dapat uang. Sebagian artis di sana memang sudah masuk “masa kadaluarsa” (“expired”) dan jarang suting lagi. Makanya “ngamen” di sini.
Fenomena politik instan dari para selebritas adalah produk strategi partai, bukan demokrasi organik, sehingga merusak kualitas parlemen. Artinya, proses pembusukkan parlemen dilakukan oleh partai dan para petingginya.
DAMPAK nyata dari keadiran pesohor yang asal nampang, jelas merugikan rakyat banyak. Mereka makan uang pajak rakyat nyaris tanpa kerja! Sebab kursi dewan ditempati figur tanpa kapasitas, tanpa kompetensi – sedang gaji bulanan dan fasilitas tetap ditanggung negara hingga lima tahun. Bahkan pajaknya juga ditanggung negara.
Fenomena artis digiring ke dunia politik hanyalah simbol betapa partai tak lagi percaya pada proses kaderisasi. Partai semakin tidak serius menjalankan fungsinya. Demokrasi jelas akan mati jika parlemen terus diisi boneka politik.
Tujuan utama partai bukan lagi menghadirkan wakil rakyat yang berani bersuara, melainkan semata-mata memenangkan pemilu.
Jika pola ini terus dibiarkan, parlemen akan semakin jauh dari rakyat. Demokrasi telah kehilangan substansinya, menjadi sekadar panggung besar yang dikendalikan elite partai. Rakyat hanya disuguhi wajah-wajah populer, tetapi kehilangan suara lantang yang seharusnya membela mereka. **https://www.facebook.com/supriyanto.martosuwito