POSKOTA.TV-(17/8/2024)Peristiwa yang terjadi di lapangan GGM Kabupaten Majalengka saat upacara HUT RI ke-79 membawa sorotan terhadap sikap arogan seorang ajudan PJ Bupati Majalengka. Situasi menjadi penuh ketegangan ketika seorang wartawan media nasional ditegur dengan gaya arogan setelah wawancara terkait pertanyaan tentang kondisi bendera yang tidak sepenuhnya berkibar.
Kejadian ini meninggalkan kesan negatif dan mengecewakan bagi para insan media yang hadir, mengingat mereka memiliki hak untuk bertanya dan mendapatkan penjelasan dari narasumber. Tindakan yang memperlihatkan ketidakacuhan terhadap fungsi pers adalah sebuah kemunduran dalam era demokrasi.
Reaksi media atas perlakuan tidak menyenangkan ini cukup beragam. Banyak jurnalis yang merasa bahwa tindakan arogan tersebut mencederai kebebasan mereka dalam menjalankan tugas jurnalistik. Beberapa organisasi pers langsung mengeluarkan pernyataan mengecam sikap oknum ajudan tersebut dan meminta pertanggungjawaban. terjadi insiden ini tidak hanya memicu perdebatan di kalangan jurnalis, tetapi juga menimbulkan keresahan di masyarakat akan kebebasan pers di Indonesia. Publik berhak mengetahui setiap kejadian penting, dan saat perlakuan sewenang-wenang terjadi, kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan pun dapat terguncang.
PJ Bupati Majalengka, H. Dedi Supandi, memberikan klarifikasi terkait kondisi bendera yang berkibar kurang sempurna. Ia mengungkapkan bahwa angin kencang di Majalengka menjadi faktor penyebab bendera tidak dapat berkibar dengan baik. “Kondisi di luar ekspektasi yang diketahui teman-teman, disangkanya sudah full padahal sebetulnya kondisi ini terjadi karena angin yang terlalu kencang,” ujar Dedi Supandi. Pernyataan ini tetap tidak menghapus kesalahan terhadap perlakuan oknum ajudan, yang seharusnya menunjukkan sikap lebih menghargai fungsi media.
Insiden ini jelas berpotensi memengaruhi kebebasan pers yang telah diperjuangkan selama ini. Setiap tindakan penghalang terhadap jurnalis dapat menciptakan suasana ketakutan dan membatasi akses informasi kepada publik. Hal ini berbahaya bagi demokrasi, di mana transparansi dan akuntabilitas menjadi pilar utama. Ketidakadilan semacam ini harus segera dihentikan untuk menjaga martabat dan integritas profesi jurnalistik. Dengan begitu, media dapat terus menjalankan fungsi kontrol sosial mereka tanpa rasa takut akan intimidasi dari pihak mana pun.
Masyarakat juga memberikan perhatian serius terhadap kejadian ini, banyak yang menunjukkan solidaritas kepada wartawan yang mengalami tindakan tidak menyenangkan. Di media sosial, warganet memperdebatkan pentingnya menghargai profesi jurnalistik dan menuntut tindakan tegas terhadap oknum yang bersikap arogan. Reaksi yang menunjukkan kepedulian ini menjadi harapan untuk masa depan kebebasan pers yang lebih cerah. Masyarakat berharap pemerintah dan institusi terkait dapat lebih menghargai peran media sebagai mitra dalam memberikan informasi yang akurat. Insiden ini dapat menjadi momentum untuk memperbaiki hubungan antara pemerintah dan pers.
Ke depan, penting bagi seluruh pihak untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tindakan publik. Upaya edukasi mengenai pentingnya kebebasan pers harus dilakukan secara berkelanjutan agar sikap arogan seperti ini tidak terulang. Menjalin komunikasi yang baik antara jurnalis dan pemerintah juga menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kedua belah pihak. Mari bersama-sama kita bangun kesadaran akan pentingnya kebebasan pers dalam mengawal demokrasi. Hanya dengan sinergi, kita dapat mencegah terjadinya kembali insiden serupa dan memperkuat institusi pers yang bebas dan mandiri.
Tragedi yang mencoreng kebebasan Pers ini baru terjadi kali pertama nya ditengah-tengah momen kemerdekaan Indonesia . Hingga berita ini turun belum ada konfirmasi terkait sikap tidak menyenangkan oleh oknum ajudan PJ Bupati Majalengka (???)