poskota.tv. Jakarta, 22 Agustus 2024 – Pagi ini, di bawah terik matahari yang tak kalah panas dari suasana politik di tanah air, ratusan massa dari berbagai kalangan berkumpul di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta.
Dimulai sejak pukul 10.00 WIB, demonstrasi ini berpusat pada penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang sedang dibahas di parlemen—RUU yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai “gerakan nostalgia” yang mengembalikan kita ke era sebelum reformasi. Ya,
Pilkada langsung yang sudah diperjuangkan dengan keringat dan air mata mungkin akan segera dirampas, mengingat ada sejumlah politisi yang sepertinya lebih nyaman dengan pemilihan kepala daerah lewat DPRD, semacam reuni kecil ala Orde Baru.
Massa yang terdiri dari mahasiswa, aktivis pro-demokrasi, hingga tokoh masyarakat yang cukup muak dengan situasi politik ini, menamakan diri mereka sebagai “Gerakan Selamatkan Demokrasi.” Dengan semangat membara, mereka membawa spanduk-spanduk dengan tulisan yang cukup tajam, “Selamatkan Pilkada Langsung!” dan “Jangan Rampas Hak Rakyat!” Apakah mereka berlebihan? Mungkin tidak, mengingat betapa “efisiennya” sistem lama di mana kepala daerah bisa terpilih lewat negosiasi-negoisasi politik yang penuh dengan ‘dinamika’.
**Panggung Utama: Di Depan Gedung DPR, Senayan**
Di tengah hiruk-pikuk aksi, kawasan sekitar Gedung DPR berubah menjadi lautan manusia yang resah. Mereka berorasi, mengangkat spanduk tinggi-tinggi, dan menyerukan kepada para anggota dewan untuk berhenti bermain-main dengan demokrasi yang telah susah payah dibangun. Para demonstran mengkritik keras upaya perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah yang dinilai hanya menguntungkan elit politik, yang sepertinya mulai rindu dengan masa-masa di mana “transaksi” politik lebih sering terjadi di ruang tertutup daripada di bilik suara.
**Siapa Di Balik RUU Pilkada Ini?**
Kalau kita telisik lebih jauh, tak sulit menebak siapa yang sangat diuntungkan dari RUU Pilkada ini. Seorang calon kepala daerah yang “sedikit terlalu percaya diri” tampaknya melihat ini sebagai jalan pintas untuk memastikan dirinya terpilih tanpa harus repot-repot berkampanye panjang di tengah rakyat. Sebut saja Paslon tertentu yang begitu optimis menang dalam Pilkada langsung, namun sekaligus merasa tertekan melihat popularitasnya yang tak kunjung naik. Nah, RUU Pilkada yang memberi kesempatan bagi DPRD untuk memilih kepala daerah menjadi semacam kado spesial bagi mereka—tentu saja jika anggota dewan sudah ‘tertarik’ dengan visi misi yang mereka tawarkan, atau setidaknya sesuatu yang lebih konkret.
Lucunya, saat ditanya mengenai perdebatan panas ini, salah satu paslon yang cukup terkenal dengan pendekatannya yang ‘bersahaja’ di media sosial menyebut bahwa perubahan mekanisme Pilkada ini justru untuk “memperbaiki kualitas demokrasi”. Dalam sebuah wawancara, ia dengan lugas mengatakan, “Pilkada tidak langsung itu akan memperkuat sistem perwakilan kita.” Tentu saja, dia tidak menjelaskan bagaimana rakyat yang sebenarnya diwakili dalam proses pemilihan yang seakan dirampas oleh segelintir elit politik.
**Apakah Ini Kembali ke Masa Lalu?**
Pertanyaan besar yang muncul di benak banyak orang adalah: Mengapa kita seolah berjalan mundur? Setelah lebih dari dua dekade reformasi, mengapa mekanisme pemilihan yang memberikan hak kepada rakyat untuk menentukan pemimpinnya, kini kembali ingin diubah menjadi pemilihan tidak langsung? Para pengunjuk rasa ini merasa bahwa upaya untuk mengesahkan RUU ini adalah bentuk “kenangan manis” dari era lama, di mana kepala daerah lebih mudah ‘dikendalikan’ karena dipilih oleh DPRD, bukan oleh rakyat langsung.
**Dialog Tanpa Kepastian**
Walau beberapa perwakilan dari massa aksi diizinkan masuk untuk berdialog dengan anggota DPR, hingga berita ini diturunkan belum ada keputusan final mengenai nasib RUU Pilkada tersebut. Namun, yang pasti, aksi ini menunjukkan bahwa rakyat tidak tinggal diam ketika hak-hak demokrasi mereka mulai diusik. Massa menegaskan, mereka akan terus memantau dan menekan hingga tuntutan pembatalan RUU ini dipenuhi.
Sementara itu, Paslon yang namanya mulai sering terdengar di koridor Gedung DPR tampaknya semakin tersenyum puas, mungkin membayangkan sebuah kursi empuk di kantor kepala daerah tanpa harus terlalu bersusah payah memikirkan pemilih. Ah, demokrasi memang selalu penuh kejutan. (koko)