POSKOTA.TV – Skeptis adalah sikap yang (dulu) wajib dimiliki oleh wartawan – redaktur dan pemred. Apa yang disampaikan narasumber di lapangan belum tentu fakta dan data yang sebenarnya, belum kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran yang belum utuh. Perlu check, ri-check dan cross check. Dalam jurnalisme mutakhir, perlu verifikasi.
Sekarang, sikap skeptis yaitu ragu ragu, kurang percaya dan mempertanyakan itu – wajib dimiliki oleh warga, masyarakat pembaca penerima informasi oleh media. Karena apa yang tersaji di laman media sebagiannya juga bukan kebenaran sebenarnya. Sebagiannya sudah dimanipulasi, sudah dikemas oleh penguasa media sesuai segment pembaca dan pemirsa mereka.
Dulu, siaran pers (press release) merupakan kasta terendah dari jenis informasi yang didapat wartawan dan wajib dicurigai dan dihadapi sikap skeptis. Tanda tanya. Ragu ragu. Sebab melekat dalam Siaran Pers adalah keterangan yang diperindah, dikemas rapi, enak dibaca meski bukan yang sebenarnya dan menyembunyikan fakta lain.
Misalnya BUMN atau perusahaan rokok berkomitmen menanam jutaan pohon, memenuhi pohon di sepanjang jalur jawa dan sumatra yang ribuan kilometer, dengan target ratusan ribu pohon yang akan rampung pada 2030 mendatang. Bagaimana wartawan menghitungnya?
Tapi press release diturunkan begitu saja. Tanpa sikap mempertanyakan dan sikap kritis.
Banyak kejadian di liputan kriminal, orang yang tergantung di blandar rumah bukan gantung diri, yang terlindas rel KA bukan bunuh diri – tapi oleh wartawan segera menyebut “gantung diri’. Padahal setelah pengusutan dan visum, korban sudah tewas sebelum tergantung dan terlindas KA. Pembunuh memanipulasi polisi dan saksi saksi di lokasi kejadian. Wartawan melahap dan segera mengirim berita dengan enaknya.
Kebenaran wartawan adalah kebenaran sesaat. Apa yang benar di pagi hari bisa berubah menjadi kebenaran lain di siang hari.
Editor pun yang ngendon di kantor, wajib skeptis pada laporan /berita yang disetor wartawan . Sebab boleh jadi wartawan membawa titipan. Ada pesan sponsor. “Bau wangi!” istilah warga dapur redaksi. Demikian juga Pemred dan seterusnya.
Dan sekarang; pembaca dan pemirsalah yang wajib skeptis. Bahwa apa yang diberitakan oleh media teve, portal berita, channel bukanlah kebenaran yang sebenarnya. Meski didasarkan pada fakta dan data.
“87% warga Indonesia adalah muslim, umat Islam. Karena itu kita harus menegakkan syariat Islam dan mengupayakan berdirinya negara Islam, ” adalah contoh data dan fakta yang dimaniipulasi oleh kepentingan politik, melepas text dari konteks.
“Pemeriksaan Sekjen Partai adalah kriminalisasi tokoh politik yang kritis pada pemerintah, ” adalah contoh lain penggiringan opini yang disiarkan media, untuk memanipulasi publik dan masyarakat pemira media.
“Jokowi masuk finalis sebagai koruptor kelas dunia! ’ tulis media . Meski NGO yang bersangkutan dan mencabut dengan diklarifikasi, media utama dan sebagiannya tetap menulis judul awalnya, karena memang ada rekayasa dan settingnya ke sana. Itu order kubu yang kecewa dengan mengirim email ke NGO itu. Sejenis polling.
Contoh lainnya tentulah amat banyak. Dan karena semakin banyak, maka sebagai konsumen berita, sebagai pembaca dan pemirsa berita, kita harus semakin skeptis.
Dengan banyak contoh itu, pembaca berita dan komsumen media masa kini harus skeptis. Berikut alasannya :
Berita Palsu dan Hoaks: Dalam era digital, berita palsu dan hoaks semakin mudah tersebar. Apalagi kini ada teknologi AI yang mudah digunakan siapa saja. Meskipun banyak media yang berusaha menyajikan informasi yang akurat, ada juga yang tergoda untuk menyebarkan informasi yang belum diverifikasi dengan tujuan tertentu, seperti mendapatkan klik atau meningkatkan pengaruh.
Keterbatasan Sumber: Wartawan biasanya mengandalkan sumber tertentu untuk mendapatkan informasi. Sumber yang tidak lengkap atau tidak dapat dipercaya bisa menghasilkan berita yang tidak akurat atau bahkan menyesatkan. Oleh karena itu, penting untuk memverifikasi informasi dari berbagai sumber.
Sensasionalisme: Beberapa media cenderung menonjolkan aspek sensasional atau kontroversial dari suatu peristiwa untuk menarik perhatian pembaca atau pemirsa. Hal ini bisa menyebabkan distorsi fakta atau bahkan penyajian yang berlebihan, yang mengaburkan kenyataan yang sesungguhnya.
Pengaruh Ekonomi: Media juga beroperasi dalam ranah komersial, di mana mereka bergantung pada iklan dan pendapatan dari pembaca atau pemirsa. Untuk menjaga audiens tetap tertarik, media mungkin mempersembahkan berita dengan cara yang menarik tetapi tidak selalu faktual atau seimbang. Cara lain mengajukan proposal dua format, memoles atau menghujat. Ketika proposal ditolak balik menghujat.
Bias dan Agenda: Setiap media memiliki sudut pandang atau bias tertentu, baik yang disengaja maupun tidak. Media bisa terpengaruh oleh kepentingan politik, ekonomi, atau sosial yang mendasari pemberitaan mereka, yang dapat mempengaruhi cara mereka menyajikan informasi.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu memeriksa kebenaran informasi yang diterima, mencari sumber lain, dan tidak langsung percaya begitu saja pada semua berita yang ada. Mengecek fakta, memahami konteks, dan memiliki pemikiran kritis adalah kunci dalam mengonsumsi berita dengan bijak. *