POSKOTA.TV – Pelantikan Pengurus dan Pengawas Yayasan Pembina Pendidikan Majalengka (YPPM) Universitas Majalengka (Unma) periode 2024–2029 yang digelar di Auditorium Unma pada Rabu, 16 April 2025, berlangsung dalam suasana yang jauh dari semarak. Acara yang seharusnya menjadi momentum konsolidasi kelembagaan ini justru menuai kontroversi dan kritik tajam dari berbagai pihak.
Ketidakhadiran unsur Muspida secara lengkap, termasuk sejumlah pimpinan struktural kampus, menjadi sorotan utama. Dari jajaran Forkopimda, hanya Dandim 0617, Danlanud S. Sukani, dan perwakilan Kejaksaan Negeri Majalengka yang tampak hadir. Bupati Majalengka H. Eman Suherman, Kapolres AKBP Willy Andrian, Ketua DPRD H. Didi Supriadi, Danyonif 31 Galuh Taruna, hingga Pj Sekda Aeron Randi absen dari acara tersebut.
Kondisi serupa terjadi di internal kampus. Tidak satu pun dari tiga Wakil Rektor Unma hadir, begitu pula para dekan fakultas. Rektor Unma, Dr. Indra A. Budiman, hadir tanpa didampingi oleh jajaran pimpinan lainnya, menambah kesan bahwa pelantikan ini belum mendapat legitimasi penuh dari internal kampus.
Menurut sejumlah sumber internal, ketidakhadiran ini merupakan bentuk penolakan terhadap pelantikan yang dinilai dipaksakan. Terlebih, proses hukum tengah berjalan terhadap Ketua Pembina YPPM, Dr. H. Aceng Jarkasih, M.Si, yang dilaporkan ke Polres Sumedang atas dugaan pencatutan nama dalam akta notaris.
“Ini bukan hanya soal pelantikan, tapi simbol krisis kepercayaan yang semakin dalam. Kami tidak ingin terlibat dalam proses yang belum selesai secara moral maupun hukum,” ujar salah satu pejabat kampus yang enggan disebutkan namanya.
Kritik juga datang dari kalangan civitas akademika yang mempertanyakan proses rekrutmen kepengurusan yayasan. Mereka menilai bahwa pemilihan pengurus tidak mencerminkan prinsip keterbukaan dan meritokrasi, bahkan diduga sarat dengan praktik nepotisme.
“Majalengka punya banyak tokoh hebat, tapi yang dipilih selalu dari lingkaran itu-itu saja. Ini mencederai semangat reformasi kelembagaan,” ungkap seorang akademisi Unma.
Acara pelantikan pun dinilai berlangsung dengan dukungan yang minim. Mahasiswa disebut-sebut sengaja diarahkan untuk mengisi kursi undangan demi menyiasati sepinya peserta. Minimnya karangan bunga ucapan selamat juga mencerminkan rendahnya antusiasme terhadap pelantikan tersebut, meskipun Ketua YPPM yang baru adalah tokoh nasional, Komjen Pol (Purn) Nanan Soekarna.
Dari sisi hukum, kuasa hukum Karmanudin dan Lalan Soeherlan dari kantor hukum Bill-Bil Law Office, menyebut pelantikan ini cacat prosedur dan tidak transparan. Mereka mempertanyakan legalitas akta notaris dan dugaan pencatutan nama dalam dokumen resmi yayasan.
“Ini pelanggaran hukum serius. Kami sudah menerima SP2HP dari penyidik Polres Sumedang, dan kasus ini akan segera naik ke tahap penyidikan,” tegas Mochamad Danu Ismanto, kuasa hukum pelapor.
Danu juga mempertanyakan transparansi dokumen legalitas yayasan. Hingga kini, salinan akta notaris dan SK Kemenkumham tidak pernah disampaikan kepada pihak kampus maupun Muspida. “Kalau memang legal, kenapa tidak dibuka saja dokumennya? Ini justru menimbulkan kecurigaan,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua YPPM, Setiahadi Martomijoyo menegaskan bahwa pelantikan telah dilakukan sesuai prosedur yang berlaku dan telah mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Ia meminta semua pihak menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
Sementara itu, Ketua YPPM yang baru, Komjen Pol (Purn) Nanan Soekarna mencoba meredam situasi. “Riak-riak seperti ini biasa dalam organisasi. Yang penting jangan sampai kepentingan pribadi mengganggu kepentingan yayasan dan kampus,” ujarnya.
Namun, dengan bayang-bayang konflik internal dan persoalan hukum yang belum usai, masa depan YPPM dan Unma kini tengah berada dalam sorotan publik. Apakah yayasan ini mampu keluar dari krisis legitimasi, atau justru makin tenggelam dalam pusaran konflik? (EK)