POSKOTA TV- Narasi swasembada, stok melimpah dan serapan gabah naik 2.000 persen, kerap menggema dari podium Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman.
Namun, di balik retorika optimis tersebut, harga beras di pasar tetap tinggi, petani merana, dan gudang Bulog dipenuhi beras rusak.
Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) yang melakukan penelusuran, akhirnya membongkar kesenjangan antara klaim dan realita dengan pisau analisis berbasis data.
Menurut Iskandar, sejak pertama kali dilantik pada 2014 dan kembali pada 2023, Amran Sulaiman konsisten dengan gaya komunikasi yang penuh klaim besar.
Namun IAW menemukan, dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan kondisi di lapangan justru menunjukkan cerita yang berbeda.
Diantaranya, harga beras konsisten tinggi, impor terus berjalan, dan BPK berulang kali menemukan stok beras lama yang rusak di gudang Bulog.
“Kerugian negara membengkak hingga triliunan rupiah,” kata Iskandar Kamis 4 September 2025.

Klaim serapan gabah petani naik 2.000 persen dalam tiga bulan menurut Iskandar, patut dipertanyakan, karena tidak disertai transparansi data pembelian, seperti kontrak, invoice, dan bukti pembayaran kepada petani dengan harga yang sesuai HPP.
“Menteri bilang, alih fungsi lahan 100 ribu hektare, dan sawah justru bertambah 200 ribu hektare. Faktanya, data BPS menunjukkan angka alih fungsi lahan yang lebih rendah yakni 30-40 ribu hektare,” ujarnya.
Atas temuan ini, IAW merancang kerangka analisis untuk menguji setiap klaim pejabat publik secara rasional.
Pertama, stok vs harga. Menurut IAW, jika stok benar-benar melimpah, mengapa harga tidak kunjung turun.
Kedua, angka serapan, jika klaim peningkatan fantastis harus dibuktikan dengan data waktu, lokasi, volume, dan mutu yang transparan.
Ketiga, data kahan, membandingkan data satelit dengan data survei sampel BPS, dengan fokus pada dampak produktivitas.
Keempat, Distribusi, klaim “pergeseran distribusi” untuk kelangkaan beras premium harus dibuktikan dengan dokumen pengiriman (DO) dan peningkatan stok di pasar tradisional.
Kelima, Subsidi dan penegakan hukum, memastikan beras bersubsidi dan fortifikasi tepat sasaran, bukan justru dialihkan ke jalur premium yang berpotensi koruptif.
Analisis temporal IAW menunjukkan pola yang konsisten. Sejak periode 2014-2019, janji swasembada pangan tidak pernah benar-benar terwujud. Indonesia tetap mengimpor beras, dan temuan BPK mengungkap kelemahan tata kelola,” kata Iskandar.
Memasuki periode 2023 hingga sekarang, klaim kembali lebih sensasional. Namun, realitanya adalah kenaikan harga beras, mati surinya penggilingan padi kecil (UMKM), dan ketergantungan pada impor.
IAW menurut Iskandar, tidak hanya mengkritik, tetapi juga berupaya memberikan solusi konkret untuk membawa tata kelola pangan dari wilayah mulut ke metode.
“Jadikan LHP BPK sebagai panduan. Lakukan audit tematik nasional untuk memverifikasi stok harian, program SPHP, dan lahan sawah yang diklaim. Buat dashboard publik real-time yang memadukan data Kementan, Bulog, dan Bapanas untuk memantau stok, harga, dan distribusi. Lindungi penggilingan padi kecil dengan memastikan akses mereka terhadap bahan baku dan program pemerintah. Penegakan hukum yang presisi, tidak menyasar pelaku UMKM kecil.
Wajibkan “data pack” untuk setiap klaim menteri. Setiap pernyataan tentang surplus harus disertai dataset yang dapat diunduh dan diverifikasi publik,” tegasnya.
Menurut IAW, surplus sejati bukanlah soal kata-kata di podium, melainkan tentang harga beras yang terjangkau di pasar, gudang yang dikelola dengan sehat tanpa barang rusak, penggilingan padi kecil yang bisa bernapas lega dan rekomendasi BPK yang ditindaklanjuti dengan serius.
“Tanpa bukti yang nyata dan dapat diverifikasi, klaim “surplus” hanyalah surplus kata-kata yang tidak mengisi piring rakyat,” tegas Iskandar. ***