POSKOTATV – Saya sering mendengar cerita ayah, dr. Enir Reni Sagaf Yahya, tentang masa-masa genting di Ranah Minang pada 1958. Sebagai tentara mahasiswa sekaligus ajudan Syafruddin Prawiranegara, ia menjadi saksi hidup Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Kisahnya bukan sekadar nostalgia, melainkan cerminan semangat politik urang Minang yang penuh idealisme, namun juga luka sejarah yang masih terasa. Hari ini, ketika putra-putra Minang kembali tampil di panggung nasional, termasuk di kabinet Prabowo-Gibran, cerita ini mengajak kita merenung: apa relevansi politik Minang bagi Indonesia kini?
PRRI: Antara Idealisme dan Luka
PRRI, yang dideklarasikan pada 15 Februari 1958, adalah puncak kekecewaan Sumatra Barat terhadap pemerintahan pusat. Seperti ditulis Taufik Abdullah dalam Sejarah dan Masyarakat (2009), ketimpangan pembangunan dan dominasi politik Jawa memicu gerakan ini. Ribuan pemuda Minang, termasuk ayah saya, pulang dari kota-kota besar untuk bergabung. Banyak yang gugur, termasuk di antara keluarga dan sahabat ayah. Syafruddin Prawiranegara, tokoh sentral PRRI, pernah berkata kepada ayah, “Kami memutuskan kembali ke Republik karena Bung Karno menawarkan amnesti.” Amnesti 1961 mengakhiri konflik bersenjata, tetapi tidak luka sosialnya. Mohammad Natsir, tokoh Minang lain, menyerah, sementara ayah saya ditahan beberapa bulan sebelum akhirnya dibebaskan. PRRI, bagi urang Minang, adalah kebanggaan sekaligus trauma—kebanggaan atas idealisme, trauma atas kekalahan dan stigma “pemberontak”.
Diaspora Minang: Dari Trauma ke Kebangkitan
Pasca-PRRI, Sumatra Barat dinyatakan sebagai daerah operasi militer. Banyak keluarga mengganti nama untuk menghindari cap “pemberontak”. Politik menjadi ranah yang riskan, sehingga merantau dan berdagang jadi pilihan. Menurut A.A. Navis dalam Alam Terkembang Jadi Guru (1984), dari sinilah diaspora Minang mengglobal, dengan rumah makan Padang sebagai ikon budaya di berbagai penjuru dunia. Namun, semangat politik urang Minang tidak padam. Dari lapau—kedai kopi tempat diskusi khas Minang—hingga grup WhatsApp modern, perdebatan politik tetap hidup. PRRI mengajarkan pelajaran pahit: semangat tanpa strategi berujung kekalahan. Meski begitu, diaspora Minang membuktikan ketangguhan mereka, tidak hanya di ranah ekonomi, tetapi juga dalam intelektualitas dan kontribusi nasional.
Kembali ke Panggung Nasional
Pasca-PRRI, peran urang Minang di politik nasional sempat meredup dibandingkan era awal Republik, ketika Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir menjadi pilar negara. Namun, perlahan, tokoh-tokoh Minang bangkit kembali. Emil Salim, Azwar Anas, dan Marwan Effendi menghiasi kabinet Orde Baru. Di era Reformasi, nama-nama seperti Fachrul Razi, Arifin Tasrif, Muhammad Lutfi, dan Yusril Ihza Mahendra menunjukkan kontribusi Minang yang konsisten. Kini, di kabinet Prabowo-Gibran yang baru dilantik, putra Minang seperti Fadli Zon kembali menonjol. Kehadiran mereka menegaskan bahwa, meski terluka oleh sejarah PRRI, urang Minang terus memberi warna pada republik. Ini sejalan dengan catatan Mestika Zed dalam PRRI–Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (2002), bahwa semangat politik Minang selalu mencari jalan untuk bangkit.
Jejak Keluarga Yahya
Kisah keluarga saya mencerminkan pasang-surut politik Minang. Ayah, setelah melalui masa sulit pasca-PRRI, bangkit menyelesaikan kuliah kedokteran dan mengabdi sebagai dokter. Leluhur kami, Jahja Datoek Kajo, duduk di Volksraad era kolonial, sementara kakek saya, dr. Sagaf Yahya, mendirikan Partai Parindra di Jambi dengan semangat melayani rakyat. Brigjen Daan Yahya, paman saya, pernah menjabat Pangdam Siliwangi, dan Kolonel Maritim Achirul Yahya menjadi wali kota Padang termuda. Kisah ini bukan sekadar kebanggaan keluarga, tetapi cerminan bagaimana urang Minang terus berjuang, meski di tengah trauma sejarah. Nilai-nilai seperti keberanian, intelektualitas, dan semangat merantau menjadi modal untuk berkontribusi pada bangsa.

Membangun Kembali dengan Nilai Minang
Setelah tiga dekade Reformasi, politik berbasis nilai Minang patut dihidupkan kembali. Nilai seperti gotong royong, intelektualitas, dan semangat merantau—seperti yang ditunjukkan Mohammad Hatta atau Sutan Sjahrir—bisa menjadi fondasi. Contohnya, kakek saya melalui Partai Parindra menawarkan model politik yang berorientasi pada rakyat, bukan sekadar kekuasaan. Dengan diaspora yang luas, urang Minang punya potensi besar untuk melahirkan gagasan segar. Bukan hanya berdebat di lapau atau grup WhatsApp, tetapi melalui kanal politik nyata—partai, organisasi masyarakat, atau kebijakan publik. Seperti dulu, ketika tokoh Minang membangun republik, kini saatnya urang Minang kembali mengukir peran besar. Indonesia hari ini membutuhkan gagasan yang inklusif dan visioner. Urang Minang, dengan sejarah panjang perjuangan dan intelektualitasnya, harus kembali ke panggung nasional—bukan dengan nostalgia, tetapi dengan visi untuk masa depan.
Catatan Penulis
Artikel ini diadaptasi dari refleksi pribadi dan studi sejarah, termasuk referensi dari Taufik Abdullah (Sejarah dan Masyarakat, 2009), A.A. Navis (Alam Terkembang Jadi Guru, 1984), Mestika Zed (PRRI–Permesta, 2002), dan Audrey R. Kahin (Rebellion to Integration, 1999).
Novita sari yahya
Kegiatan sehari-hari penulis dan peneliti.
Penulis buku
1..Romansa Cinta
2.Padusi: Alam Takambang Jadi Guru
3. Novita & Kebangsaan
4. Makna di setiap rasa antologi 100 puisi bersertifikat lomba nasional dan internasional
5. Siluet cinta, pelangi rindu
6. Self Love : Rumah Perlindungan Diri.
Kontak pembelian buku : 089520018812
Instagram: @novita.kebangsaan