POSKOTA.TV | Jakarta – Kasus penggelapan barang bukti investasi bodong robot trading Fahrenheit oleh mantan Jaksa Kejari Jakarta Barat, Azam Akhmad Akhsya (yang telah divonis 9 tahun penjara), kini terungkap memiliki jaringan penerima aliran dana yang lebih luas.Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)
MAKI mengungkapkan, data persidangan menunjukkan bahwa uang hasil penilapan tidak hanya mengalir kepada mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat (Kajari Jakbar), Hendri Antoro (diduga Rp500 juta), tetapi juga ke beberapa pejabat dan staf lain di Kejari Jakbar.
Desakan agar Hendri Antoro pun diproses pidana makin kuat, menyusul temuan bahwa pencopotan dari jabatan dinilai tidak sebanding dengan kerugian dan rusaknya marwah institusi.
Aliran Dana Meluas: Kasi Pidum hingga Staf Turut Kecipratan
Data yang terungkap selama proses hukum Jaksa Azam menunjukkan bahwa dana hasil penggelapan yang totalnya mencapai miliaran rupiah ini didistribusikan secara sistematis di lingkungan Kejari Jakbar.
Rincian aliran dana tersebut, selain untuk Azam sendiri yang mendapat Rp1,1 miliar, diduga menyasar pihak-pihak berikut:
- M. Adib Adam (Kasi Pidum Kejari Jakbar): Diduga menerima transfer Rp300 juta.
- Kasubsi Pratut Kejari Jakbar: Diduga menerima transfer Rp200 juta.
- Sejumlah Staf Kejari Jakbar: Menerima total Rp150 juta, baik dalam bentuk transfer maupun tunai.
- Hendri Antoro (Eks Kajari Jakbar): Diduga menerima Rp500 juta, yang disalurkan melalui PLH Kasi Pidum merangkap Kasi Barang Bukti, Dody Gazali.
Fakta ini memperkuat dugaan adanya keterlibatan kolektif dalam skema penilapan barang bukti tersebut, di mana Hendri Antoro diduga berada di puncak rantai penerima.
Melihat data itu, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Komisi III DPR RI menyoroti jurang yang sangat lebar antara sanksi yang diterima oleh Hendri Antoro dan vonis pidana yang dijatuhkan kepada anak buahnya, Jaksa Azam.
Jaksa Azam Akhmad Akhsya telah divonis 9 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta per 11 September 2025 karena terbukti secara aktif dan inisiatif menyalahgunakan kewenangan untuk menggelapkan aset sitaan kasus Fahrenheit.
Sementara itu, Hendri Antoro hanya dikenai sanksi internal berupa pencopotan dari jabatan. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, berdalih pencopotan adalah sanksi terberat yang dijatuhkan karena Hendri dinilai lalai dalam menjalankan fungsi pengawasan melekat, yang mengakibatkan peristiwa penggelapan. Anang berulang kali menegaskan bahwa peran aktif dan yang paling banyak menikmati hasil penilapan adalah Azam.
Anggota Komisi III DPR, Rudianto Lallo, menilai sikap Kejagung ini menimbulkan kesan perlindungan institusional terhadap atasan. Lallo mendesak agar Kejagung bersikap adil dan konsisten.
”Tidak sekadar misalkan bahwa sekadar pencopotan dari jabatan, tapi dalam proses pemeriksaan internal itu kalau ditemukan jelas menerima aliran, ya dia harus dimintai pertanggungjawaban,” tegas Lallo.
MAKI, melalui Koordinator Boyamin Saiman, juga memperingatkan bahwa jika aliran dana Rp500 juta ke Hendri terbukti secara hukum pidana, maka Jaksa Agung ST Burhanuddin harus berani memproses hukum pidana, tidak cukup hanya berhenti pada sanksi disiplin terberat. Ketidaktepatan sanksi ini dikhawatirkan merusak kepercayaan publik terhadap komitmen Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi di internalnya.
[Red)