REDAKSIONAL
POSKOTA.TV | Jakarta – Insiden paparan radiasi Sesium-137 (Cs-137) di Cikande, Banten, yang mencapai 875 ribu kali batas aman, bukan lagi sekadar kasus pencemaran lingkungan. Lebih dari itu, kasus ini telah membuka kotak pandora yang mengungkap kerapuhan sistem pengawasan dan potensi ancaman serius terhadap keamanan nasional. Tingkat radiasi yang ekstrem tersebut mengisyaratkan adanya celah besar yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab, mulai dari pelanggar aturan hingga aktor-aktor yang memiliki motif tersembunyi yang jauh lebih berbahaya.
Dimensi Ancaman yang Lebih Luas
Penanganan kasus ini oleh pemerintah memang cepat, dengan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) gabungan yang melibatkan berbagai instansi. Namun, kehadiran personel keamanan bersenjata lengkap, seperti Brimob dan TNI AD, di luar peran penanganan limbah biasa, memberikan sinyal bahwa pemerintah melihat kasus ini sebagai ancaman yang jauh lebih serius. Mengapa? Karena material radioaktif seperti Cs-137, meskipun limbah, dapat menjadi komponen kunci dalam berbagai skenario terorisme, terutama dalam pembuatan “dirty bomb” atau bom kotor.
1. Potensi Terorisme dan “Dirty Bomb”
- Apa itu dirty bomb? Berbeda dengan bom nuklir, bom kotor tidak menciptakan ledakan fisi nuklir. Sebaliknya, bom ini menggunakan bahan peledak konvensional untuk menyebarkan material radioaktif ke area yang luas. Dampaknya bukan hanya ledakan fisik, tetapi juga kontaminasi radiasi yang masif dan meluas, menyebabkan kepanikan, ketakutan, dan memaksa evakuasi besar-besaran.
- Ancaman nyata. Sejumlah kelompok teroris internasional, termasuk ISIS, telah secara terbuka menyatakan minatnya untuk memperoleh bahan radioaktif. Insiden di Cikande menjadi bukti nyata bahwa bahan-bahan tersebut ternyata dapat diakses secara ilegal di Indonesia. Pertanyaan kritisnya adalah, apakah material Cs-137 di Cikande hanya tercecer, atau sengaja disembunyikan dan rencananya akan diambil oleh pihak tertentu? Investigasi harus secara serius mempertimbangkan kemungkinan ini, dan tidak hanya berfokus pada pelanggaran lingkungan semata.
2. Kebocoran dan Kelalaian dalam Sistem Pengawasan
- Peran Bapeten. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) adalah lembaga kunci yang bertanggung jawab mengawasi penggunaan bahan radioaktif di Indonesia. Insiden ini secara telak menyoroti kegagalan dalam sistem pengawasan Bapeten. Bagaimana material berbahaya ini bisa luput dari audit dan kontrol, terutama mengingat statusnya yang sangat terlarang untuk dibuang secara sembarangan?
- Kemungkinan Korupsi dan Manipulasi. Tingkat paparan yang sangat tinggi, mencapai 875 ribu kali batas aman, sangat tidak mungkin terjadi secara kebetulan atau karena kelalaian kecil. Ini mengisyaratkan adanya pembuangan yang disengaja dan dalam jumlah yang signifikan. Pertanyaan muncul: apakah ada pihak internal yang membantu memuluskan pembuangan ilegal ini, mungkin sebagai bagian dari skema pembuangan limbah beracun yang lebih besar?
- Sinkronisasi data. Apakah Bapeten memiliki sistem data yang terintegrasi dengan lembaga lain seperti Bea Cukai, Kepolisian, dan Kementerian Lingkungan Hidup? Jika tidak, maka pelacakan dan pengawasan material berbahaya ini akan sangat sulit dilakukan, membuka celah bagi penyelundupan dan pembuangan ilegal.
Peran Media dan Kebutuhan Transparansi Dihalangi
Akses jurnalis ke lokasi kejadian adalah kunci untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam menangani kasus ini. Pembatasan liputan dan dugaan intimidasi terhadap wartawan menciptakan kecurigaan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
- Pentingnya Pengawasan Publik. Kepercayaan publik terhadap pemerintah akan terkikis jika informasi ditutupi. Pers berperan sebagai ‘mata dan telinga’ masyarakat. Jika jurnalis tidak dapat bekerja secara bebas, publik akan bertanya-tanya: apakah pemerintah takut informasi yang bocor akan memicu kepanikan, atau ada fakta-fakta yang jauh lebih sensitif yang tidak ingin diketahui publik?
- Kerja sama pers dan pemerintah. Pemerintah seharusnya tidak melihat media sebagai musuh, tetapi sebagai mitra dalam mengedukasi dan menenangkan publik. Dengan memberikan informasi yang akurat dan transparan, pemerintah dapat mengendalikan narasi dan mencegah penyebaran berita hoaks.
Langkah ke Depan: Menjamin Keamanan dari Hulu ke Hilir
Menangani insiden radiasi Cikande tidak bisa hanya sebatas pembersihan area terdampak dan penangkapan pelaku. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang lebih holistik dan mendalam.
- Audit menyeluruh. Seluruh industri yang menggunakan bahan radioaktif harus diaudit ulang secara mendalam. Peraturan dan standar yang ada harus diperkuat, dan sanksi bagi pelanggar harus dipertegas.
- Pembaruan regulasi. Aturan mengenai kepemilikan, penggunaan, dan pembuangan material radioaktif harus diperbarui. Perlu dipertimbangkan untuk mengadopsi standar internasional yang lebih ketat, serta menciptakan sistem pelacakan yang terintegrasi.
- Peningkatan kapasitas. Personel yang berwenang, baik dari Bapeten maupun aparat keamanan, harus mendapatkan pelatihan yang memadai untuk mengenali dan menangani ancaman yang terkait dengan material radioaktif.
- Kolaborasi. Pemerintah perlu meningkatkan koordinasi antarlembaga, termasuk dengan lembaga intelijen dan keamanan, untuk memetakan risiko dan mencegah insiden serupa terjadi di masa depan.
Insiden di Cikande adalah sebuah peringatan keras. Jika tidak diusut tuntas dan ditangani secara komprehensif, kasus ini dapat menjadi preseden buruk yang mengancam kedaulatan dan keamanan nasional secara lebih luas. Misteri di balik paparan radiasi 875 ribu kali batas aman ini harus dipecahkan, bukan hanya untuk membersihkan lingkungan, tetapi untuk memastikan bahwa Indonesia tidak menjadi surga bagi perdagangan material berbahaya yang dapat digunakan untuk tujuan terorisme.
(Red)