POSKOTA.TV | Jakarta – Pemberitaan mengenai teror mistis yang diklaim menimpa keluarga Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menjadi babak baru yang kontroversial, muncul tak lama setelah Menkeu melontarkan sikap tegasnya untuk tidak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam menalangi utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Whoosh. Peristiwa ini menggabungkan isu kebijakan publik yang sensitif dengan nuansa mistis yang menggemparkan.
I. Kebijakan Kontroversial: Menolak Utang Whoosh Dibayar APBN
Akar dari seluruh polemik ini adalah keputusan fiskal Menkeu Purbaya yang dinilai berani, yakni menolak keras penggunaan APBN untuk menanggung utang proyek Kereta Cepat Whoosh yang membengkak, diperkirakan mencapai sekitar Rp116 triliun. Proyek ini sendiri merupakan kerja sama Business to Business (B2B) antara konsorsium BUMN Indonesia dan mitra dari Tiongkok.
Argumen Tegas Menkeu Purbaya:
- Tanggung Jawab Korporasi: Purbaya menekankan bahwa utang Whoosh sepenuhnya merupakan tanggung jawab Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), sebuah holding BUMN yang kini mengelola dividen dari berbagai perusahaan BUMN.
- Kemandirian Finansial Danantara: Menkeu mengungkapkan bahwa Danantara telah menerima dividen BUMN hingga mencapai Rp80 triliun hingga Rp90 triliun per tahun. Menurutnya, dengan sumber daya sebesar itu, Danantara lebih dari cukup untuk menangani kewajiban utang Whoosh, yang besaran pembayaran tahunannya diperkirakan hanya sekitar Rp2 triliun.
- Prinsip Keadilan Fiskal: Purbaya menggunakan perumpamaan yang menohok: “Kalau pakai APBN agak lucu. Karena untungnya ke dia (Danantara), susahnya ke kita. Harusnya kalau diambil (dividen BUMN), ambil semua (termasuk beban utang BUMN).” Ia menuntut pemisahan yang jelas antara urusan korporasi dan keuangan negara, agar APBN tidak dijadikan “juru selamat” untuk risiko bisnis BUMN.
Keputusan ini mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk anggota DPR RI, yang menilai kebijakan ini tepat untuk menjaga disiplin fiskal dan mencegah dana publik dialihkan untuk menutupi kerugian proyek komersial.
II. Geger Teror Mistis dan Sikap Keluarga
Di tengah sorotan atas kebijakan tersebut, muncul kabar mengejutkan dari putra Menkeu Purbaya, Yudo Sadewa, yang mengungkap adanya teror mistis yang dialami keluarganya di rumah.
Kronologi dan Respon Yudo Sadewa:
- Pengungkapan di Media Sosial: Yudo Sadewa mempublikasikan teror ini melalui unggahan di akun Instagram pribadinya (@8a41121a), dengan jelas menyatakan: “Keluarga kami diteror oleh santet di rumah.” Unggahan ini muncul pada hari yang sama atau tidak lama setelah berita penolakan utang Whoosh oleh sang Ayah menjadi viral.
- Kaitannya dengan Kebijakan: Meskipun Yudo tidak secara eksplisit menyebut pelaku teror, waktu kemunculan teror yang berbarengan dengan keputusan politik sensitif sang Ayah memicu spekulasi luas di kalangan netizen dan media, yang menduga adanya unsur ‘balas dendam’ atau upaya tekanan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan fiskal Menkeu.
- Sikap Rasional dan Spiritual Keluarga: Yudo Sadewa menekankan bahwa keluarganya memilih untuk menghadapi teror tersebut dengan kepala dingin dan keyakinan agama yang kuat. Ia berpesan: “Semakin Anda percaya, maka santet itu makin kuat. Percayalah kepada Allah, jangan percaya takhayul.” Ia menolak pandangan mistis tentang santet dan kesurupan, berargumen bahwa semua itu adalah bentuk manipulasi oleh jin terhadap pikiran manusia untuk menimbulkan rasa takut selain kepada Tuhan.
III. Implikasi dan Reaksi Publik
Peristiwa ini menciptakan gelombang reaksi yang kompleks di ruang publik:
- Apresiasi Publik: Banyak netizen memberikan dukungan dan doa kepada Menkeu Purbaya dan keluarganya, mengaitkan teror tersebut dengan indikasi bahwa Purbaya adalah “pejabat lurus” yang sedang berjuang melawan kepentingan besar. Narasi “pejabat baik versus kepentingan jahat” menguat di media sosial.
- Respons Pemerintah dan Danantara: Pasca-penolakan keras Menkeu, pihak Istana mengindikasikan akan mencari skema pembayaran utang Whoosh yang tidak melibatkan APBN. Sementara itu, Rosan Roeslani selaku CEO BPI Danantara menyatakan kesiapannya untuk mengevaluasi dan berkoordinasi terkait beban utang tersebut, termasuk kemungkinan negosiasi ulang dengan pihak China Development Bank (CDB).
Keseluruhan episode ini menyoroti risiko dan tekanan yang dihadapi oleh pejabat publik saat mengambil kebijakan yang menyentuh kantong raksasa BUMN dan proyek strategis nasional. Konflik antara tanggung jawab korporasi versus beban APBN telah bergeser dari ranah teknokratis menjadi drama publik yang penuh intrik dan dugaan ancaman non-fisik.
(Red)