POSKOTA.TV | Jakarta – Wacana pengajuan Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional oleh Kementerian Sosial (Kemensos) memicu gelombang kritik keras, khususnya dari perspektif hukum dan reformasi. Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, menilai langkah politik ini secara langsung melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, serta mengkhianati amanat reformasi 1998.
Melanggar Syarat Integritas dan Keteladanan UU Pahlawan Nasional
Menurut Hendardi, penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional tidak memenuhi syarat fundamental yang diatur dalam Pasal 24 UU No. 20 Tahun 2009. Undang-undang tersebut secara tegas mensyaratkan penerima gelar harus memiliki integritas moral, keteladanan, berkelakuan baik, serta tidak pernah dipidana minimal lima tahun penjara berdasarkan putusan hukum tetap.
”Soeharto tidak memenuhi syarat-syarat itu, terutama karena dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan selama masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik,” kata Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Senin (27/10).
Selain dugaan pelanggaran HAM yang belum pernah diuji di pengadilan, Hendardi juga menyoroti kasus korupsi yang telah diputus oleh Mahkamah Agung (MA). Ia mengingatkan bahwa Putusan MA Nomor 140 PK/Pdt/2005 secara jelas menyatakan bahwa Soeharto terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus korupsi Yayasan Supersemar. Putusan tersebut mewajibkan Yayasan Supersemar mengembalikan sekitar Rp 4,4 triliun kepada negara.
”Keputusan MA mengenai Supersemar adalah bukti nyata penyimpangan hukum. Mengangkat seorang yang terbukti korupsi besar berdasarkan putusan hukum tetap sebagai Pahlawan Nasional adalah bentuk penyimpangan dari prinsip negara hukum,” tegasnya.
Amnesia Sejarah Dimulai dari Pencabutan TAP MPR
Kritik Hendardi tidak hanya tertuju pada rencana gelar pahlawan, tetapi juga pada langkah politik yang mendahuluinya. Ia menyebut bahwa upaya merehabilitasi citra Soeharto dimulai dengan pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN setelah terpilihnya Presiden Prabowo Subianto.
TAP MPR 1998, khususnya Pasal 4, secara eksplisit mengamanatkan pemberantasan KKN harus dilakukan terhadap siapa pun, termasuk mantan Presiden Soeharto.
”Pencabutan pasal dalam TAP MPR Nomor XI/1998 yang menyebut Soeharto dan kini mengajukan beliau menjadi Pahlawan Nasional nyata-nyata mengalami amnesia politik dan sejarah serta mengkhianati amanat reformasi,” ujar Hendardi. Ia menambahkan bahwa upaya elite politik di sekitar Presiden Prabowo ini dapat dianggap sebagai penerapan absolutisme kekuasaan, mirip dengan ungkapan Raja Louis XIV, ‘L’État, c’est moi’.
Daftar 40 Tokoh, Kemensos Klaim Penuhi Kriteria Dasar
Kontroversi ini mencuat setelah Menteri Sosial, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), mengonfirmasi bahwa nama Soeharto termasuk dalam daftar 40 tokoh nasional yang diusulkan Kemensos kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) RI. Tokoh lain yang diajukan antara lain Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), aktivis buruh Marsinah, serta Jenderal M Jusuf dan Ali Sadikin.
Ketua Dewan Gelar, Fadli Zon, yang juga Menteri Kebudayaan, menyatakan bahwa timnya akan segera membahas usulan tersebut sebelum Hari Pahlawan, 10 November. Ia mengklaim bahwa secara kriteria dasar, semua nama yang diusulkan oleh Kemensos telah memenuhi syarat. Namun, klaim ini dibantah keras oleh Setara Institute yang mendasarkannya pada UU dan putusan MA.
[]