POSKOTA.TV | Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia hari ini mengukir sejarah baru dalam penegakan hukum dengan membacakan Putusan Nomor 15/PUU-XXIII/2025. Putusan ini secara signifikan membatasi ruang lingkup hak imunitas (kekebalan) yang selama ini melekat pada Jaksa, khususnya dalam konteks tindak pidana, dengan tujuan utama memperkuat implementasi prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law).
Uji materiil ini diajukan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, yang dianggap Pemohon (sekelompok aktivis dan advokat) telah menciptakan ‘kekebalan mutlak’ yang berpotensi menghalangi penegakan hukum, khususnya terhadap Jaksa yang diduga melakukan tindak pidana serius.
Inkonstitusionalitas Bersyarat Pasal Kunci: Izin Jaksa Agung Diperketat
Pokok utama putusan ini terletak pada Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan, yang sebelumnya secara eksplisit mewajibkan adanya izin dari Jaksa Agung untuk melakukan tindakan hukum berupa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa dalam perkara pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya.
MK menyatakan norma dalam Pasal 8 Ayat (5) tersebut bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (inkonstitusional bersyarat). Artinya, norma tersebut masih memiliki kekuatan hukum mengikat hanya jika dimaknai dengan memuat pengecualian yang ketat, yaitu:
- Tertangkap Tangan (Operasi Tangkap Tangan/OTT): Tindakan hukum dapat langsung dilakukan tanpa harus menunggu izin Jaksa Agung jika Jaksa kedapatan sedang melakukan tindak pidana.
- Kejahatan Berat: Tindakan hukum juga bisa dilakukan tanpa izin jika Jaksa disangka melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, terutama untuk:
- Tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup.
- Tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
- Tindak pidana khusus, yang secara khusus merujuk pada kejahatan luar biasa seperti tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika.
Dengan tafsir bersyarat ini, lembaga penegak hukum lain seperti Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini memiliki landasan hukum yang kuat untuk segera menindak Jaksa yang terlibat dalam tindak pidana serius, menghapus hambatan birokrasi izin yang selama ini dapat dimanfaatkan untuk mengulur waktu dan menghilangkan barang bukti.
Penghapusan Perlindungan Mutlak dari Tuntutan Pidana
Selain pembatasan pada Pasal 8 Ayat (5), Mahkamah juga memutuskan untuk mencabut keberlakuan Pasal 35 Ayat (1) huruf e UU Kejaksaan beserta Penjelasannya. Pasal ini sebelumnya memberikan perlindungan kepada Jaksa dan Penuntut Umum dari tuntutan perdata maupun pidana dalam melaksanakan tugas profesinya.
MK secara tegas menyatakan pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (dihapus). Penghapusan ini mengeliminasi celah hukum yang bisa ditafsirkan sebagai perlindungan mutlak bagi Jaksa dari pertanggungjawaban pidana, meskipun perbuatan pidana tersebut dilakukan saat bertugas.
Menurut pertimbangan Mahkamah, perlindungan profesional (imunitas) yang diberikan kepada Jaksa seharusnya hanya berkaitan dengan upaya menjaga independensi Jaksa dari intervensi atau tekanan pihak luar saat menjalankan fungsi yudisial, bukan sebagai “tameng” atau “kekebalan hukum” untuk menghindari proses pidana ketika Jaksa sendiri diduga melakukan kejahatan. Perlindungan yang tidak terukur berpotensi melahirkan impunitas dan merusak kredibilitas institusi Kejaksaan.
Prinsip Egalitas dan Independensi Penegak Hukum
Hakim Konstitusi dalam pertimbangannya berulang kali menekankan bahwa Putusan ini adalah perwujudan konkret dari Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kesamaan kedudukan setiap warga negara di hadapan hukum. MK menilai bahwa memberikan perlakuan istimewa kepada Jaksa yang melanggar hukum, apalagi dalam kasus kejahatan berat, tidak sejalan dengan semangat negara hukum dan dapat mencederai rasa keadilan publik.
Putusan ini diharapkan menciptakan kesetaraan perlakuan antara seluruh aparat penegak hukum, memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang jabatan, tunduk pada mekanisme hukum yang sama. Ini sekaligus menjadi teguran keras bagi seluruh elemen penegak hukum untuk senantiasa menjunjung tinggi integritas.

Meskipun terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari sebagian Hakim Konstitusi yang berargumen perlindungan hukum penuh penting untuk menjaga independensi Jaksa, mayoritas Mahkamah meyakini bahwa independensi tidak boleh mengorbankan prinsip supremasi hukum dan keadilan substantif bagi masyarakat.
(red)