POSKOTA.TV | Lombok Barat – Ketua Yayasan Pondok Pesantren (Ponpes) di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), berinisial AF (dikenal sebagai ‘Walid Lombok’), telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polresta Mataram atas dugaan kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap puluhan santriwati dan mantan santriwati.
AF diduga memanfaatkan posisi dan kedekatan spiritualnya untuk melakukan aksi bejat tersebut dengan modus yang sangat manipulatif.
Modus Operandi: Dalih Spiritual yang Menyimpang
Aksi kekerasan seksual oleh AF diduga dilakukan sejak tahun 2015/2016 hingga 2021/2023. Modus utama yang digunakan adalah dalih “sucikan rahim untuk keturunan saleh” atau “berkati rahim”.
- AF meyakinkan para korban yang rata-rata masih di bawah umur bahwa perbuatannya adalah bagian dari ritual suci agar mereka dapat melahirkan anak-anak yang akan menjadi wali.
- Modus lain yang juga muncul adalah “mengusir jin” atau bujuk rayu dengan janji jodoh.
- Lokasi kejadian umumnya terjadi di kamar asrama pada dini hari
Korban dan Terkuaknya Kasus
Dugaan awal menyebutkan jumlah korban mencapai 20 santriwati. Saat kasus mulai ditangani, korban yang resmi melapor ke Polisi bervariasi antara 8 hingga 10 orang, dengan sebagian korban mengalami persetubuhan dan sebagian lainnya mengalami pencabulan.
Kasus ini mulai terkuak setelah sejumlah alumni santriwati berani melapor. Keberanian korban muncul setelah mereka menonton film/serial berjudul “Bidaah” yang viral, dan menyadari adanya kemiripan antara cerita di film tersebut dengan pengalaman traumatis yang mereka alami di ponpes.
Tindakan Hukum dan Peringatan Keras
Setelah dilakukan penyelidikan, pemeriksaan saksi, dan olah TKP, Polresta Mataram resmi menetapkan AF sebagai tersangka dan menahannya. AF dijerat dengan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan ancaman hukuman berat, mengingat statusnya sebagai pimpinan lembaga pendidikan yang seharusnya melindungi korban. Pihak yayasan ponpes juga telah memecat AF.
Kepolisian mengimbau agar masyarakat dan wali santriwati lain yang merasa menjadi korban untuk segera melapor. Kasus ini menjadi peringatan keras bagi semua pihak mengenai pentingnya perlindungan anak dan pengawasan ketat di lingkungan lembaga pendidikan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
[]