Integritas Tergerus: Eks Wakapolri Nanan Soekarna Membongkar Krisis Moral Polri dan Ancamannya terhadap Kepercayaan Publik

Spread the love

POSKOTA.TV | Jakarta — Mantan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri) Komjen Pol (Purn) Nanan Soekarna meluncurkan kritik keras yang bersifat introspektif terhadap institusi yang pernah dipimpinnya. Dalam Dialog Kebangsaan perayaan Hari Jadi Humas Polri ke-74, Nanan tidak hanya menyoroti hilangnya kata ‘kejujuran’ dari Tribrata, tetapi juga mengupas tuntas dampak kultural dan sistemik yang ditimbulkannya, yang kini bermuara pada krisis kepercayaan publik.

Pergeseran Makna Hukum: Dari ‘Benar-Salah’ Menjadi ‘Menang-Kalah’

​Nanan Soekarna secara tajam mengkritik pergeseran orientasi penegakan hukum di Indonesia. Ia menyampaikan anekdot yang menyindir kondisi saat ini:

​”Dulu, kalau kasus perdata itu menang-kalah. Kalau pidana itu benar-salah. Sekarang pidana pun menang-kalah juga. Karena tidak jujur, tidak benar. Begitu anekdotnya.”

​Sindiran ini menunjukkan bahwa tanpa kejujuran, penegakan hukum telah bergeser dari upaya mencari kebenaran (truth) menjadi sekadar arena kompetisi untuk mencapai kemenangan (winning). Menurutnya, hal ini disebabkan oleh pudarnya integritas, yang didefinisikannya sebagai jembatan antara kebenaran yang dicari dan kepercayaan yang dibangun.

​Tanpa kejujuran, integritas diri melemah, dan integritas realitas (kebenaran) pun ikut kabur.

Struktur Besar, Miskin Fungsi

​Lebih jauh, Nanan Soekarna menyinggung ironi dalam tubuh Polri terkait tata kelola organisasi. Ia mengingatkan bahwa doktrin yang selalu diajarkan di institusi pendidikan kepolisian adalah konsep “Miskin Struktur, Kaya Fungsi”.

​Namun, yang terjadi saat ini justru sebaliknya. “Sekarang, terbalik mungkin. Miskin fungsi, kaya struktur. Strukturnya besar, jadi enggak efisien,” cetus Nanan.

​Kondisi ini, menurutnya, berakar pada krisis kultural—hilangnya kejujuran sebagai nilai dasar—yang membuat struktur organisasi kehilangan rohnya. Loyalitas administratif menjadi lebih dominan dibandingkan integritas moral, yang menghasilkan fenomena kepolisian yang “gemuk dan birokratis, tetapi miskin fungsi.”

Ancaman ‘Status dan Fulus’ terhadap Moral Aparat

​Dalam pesannya yang paling krusial, Nanan mengungkapkan bahwa pilar moral Polri saat ini sedang diancam oleh dua hal: status dan uang (fulus).

​Ia secara eksplisit menitipkan tiga prinsip nilai untuk dijadikan pegangan, sekaligus mengkritik keadaan di mana nilai-nilai tersebut telah terdistorsi:

Nanan menegaskan bahwa krisis ini tidak hanya menjangkiti kepolisian, tetapi juga aparat penegak hukum (APH) lainnya—jaksa, hakim, dan pengacara—yang semuanya berpotensi bermasalah ketika hanya mengejar “status dan fulus.”

Seruan Reformasi Kultural dan Moral Sejati

​Mantan Wakapolri ini menyimpulkan bahwa upaya reformasi Polri yang sudah berjalan selama dua dekade perlu ditata ulang. Reformasi sejati, baginya, tidak berhenti pada pembenahan struktur, melainkan harus menyentuh kultur dan moral.

​”Reformasi sejati bukan mengganti struktur, tetapi menghidupkan kembali kultur yang sudah ada di Tribrata, Catur Prasetya, dan Kode Etik Polri,” pungkasnya, menandaskan bahwa upaya yang ada saat ini adalah “menyalakan kembali api kejujuran” demi masa depan Polri yang berintegritas.

(Igo)

Tinggalkan Balasan